A. DEFINISI
Menurut
Day & Sparacio (1980, dalam Hariastuti & Darminto, 2007: 69)
structuring merupakan teknik atau alat yang digunakan oleh konselor untuk
membatasi aturan-aturan dan arahan dalam proses konseling yang di dalamnya
meliputi kegiatan informing, proposing, suggesting, recommending, negotiating,
stipulating, contracting, dan compromising.
Sedangkan
menurut Brammer & Shostrom (1982, dalam Hariastuti & Darminto, 2007: 69)
structuring berisi pembatasan-pembatasan konselor berkenaan dengan sifat,
kondisi, batas-batas, dan tujuan dari proses konseling.
Jones
(1990, dalam Hariastuti & Darminto, 2007: 69) juga mengungkapkan bahwa
structuring merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan
perilaku-perilaku yang digunakan oleh konselor untuk membawa kliennya
mengetahui peran konselor dank lien pada setiap tahapan hubungan atau proses
konseling.
Definisi
lain mengenai structuring diungkapkan oleh Supriyo & Mulawarman (2006: 27),
yakni teknik yang digunakan konselor untuk memberikan batas-batas/pembatasan
agar proses konseling berjalan sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dalam
konseling.
Alasan
penggunaan struktur dalam konseling didasarkan pada pemikiran (Hariastuti &
Darminto, 2007: 70) :
1. Struktur
dapat dikembangkan oleh konselor
2. Konselor
dan klien dapat membentuk persepsi yang sama tentang struktur konseling
3. Struktur
dapat digunakan untuk membantu pencapaian tujuan konseling
Day
& Sparacio (1980, dalam Hariastuti & Darminto, 2007: 70-71)
mengemukakan rasional penggunaan structuring dalam konseling:
1. Banyak
interaksi yang bermakna akan terjadi sesuai dengan aturan yang telah
disepakati, diadopsi, atau dikembangkan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam
interaksi.
2. Banyak
ahli dalam bidang psikologi menyatakan bahwa struktur merupakan suatu teknik
yang diperlukan karena dapat lebih mengefektifkan proses konseling, khususnya
untuk klien tertentu.
B. FUNGSI/MANFAAT
Day
& Sparacio (1980, dalam Hariastuti & Darminto, 2007: 71) mengemukakan 3
fungsi penting penggunaan struktur dalam proses konseling, yaitu fungsi
fasilitatif, fungsi terapeutik, dan fungsi protektif. Akan tetapi, struktur
lebih banyak memiliki fungsi fasilitatif, yakni memfasilitasi munculnya rasa
tanggungjawab, komitmen, dan keterlibatan atau partisipasi aktif klien dalam
proses konseling.
Berikut
adalah bagaimana structuring memfasilitasi proses konseling menurut Day &
Sparacio :
1. Konselor
dapat mengkomunikasikan kepada klien peran dan tanggungjawabnya serta arah
proses konseling yang dilaksanakan.
2. Structuring
dapat mengurangi dampak kesalahpahaman antara konselor dengan klien.
Kesalahpahaman ini dapat menimbulkan kebingungan (ambiguitas) dan konflik yang
dapat merusak hubungan
3. Sebagai
alat untuk menangani perbedaan-perbedaan antara konselor dengan klien,
khususnya mengenai asumsi dan harapan. Structuring dapat dimanfaatkan untuk
memperjelas asumsi dan harapan.
4. Menangani
munculnya perasaan tidak pasti dan kecemasan klien berkenaan dengan hubungan atau
proses konseling.
5. Membuat
proses konseling menjadi lebih efisien. Melalui structuring komponen/variabel
prosedur perlakuan dapat dirumuskan dengan jelas dan spesifik.
6. Membuat
konselor lebih percaya diri.
Sedangkan
menurut Brammer & Shostrom (1982, dalam Hariastuti & Darminto, 2007: 72)
penggunaan struktur dalam suatu proses konseling dapat memfasilitasi hubungan
dan pencapaian tujuan konseling melalui :
1. Memungkinkan
klien memperoleh kejelasan tentang kerangka kerja atau orientasi program
perlakuan/konseling.
2. Struktur
dalam konseling memiliki nilai untuk mencegah timbulnya kesalahan konsepsi
bahwa konseling merupakan suatu bentuk pengobatan/penyembuhan yang bersifat
magis, cepat, simple, pemberian nasihat, menyenangkan, dan menjadi
tanggungjawab konselor. Dengan memusatkan dan memperjelas peran konselor dan
klien, maka kesalahan konsepsi tersebut dapat dihindari.
3. Tidak
adanya struktur dalam konseling berpotensi menimbulkan rasa cemas pada diri
klien sehingga dapat menggagalkan hubungan konseling. Struktur dapat dijadikan
alat untuk meningkatkan rasa aman klien, asal dilakukan dengan tepat. pada
fase-fase awal proses konseling, structuring perlu dilakukan dengan hati-hati
karena structuring memungkinkan tersampaikannya kesan “bagaimana seharusnya
klien merasa”. Hal tersebut tentu saja dapat merusak hubungan konseling.
C. BENTUK
KEGIATAN YANG DILAKUKAN KONSELOR DALAM TEKNIK STRUKTURING (Hariastuti &
Darminto, 2007: 73-77)
1. Kontrak
(contracs)
Kontrak
berisi daftar hak, tanggungjawab, bonus, sanksi, serta bagaimana dan oleh siapa
kontrak dimonitor. Kontrak memiliki karakter yang spesifik, artinya
kontrak berisi batasan-batasan ‘tegas’ sehingga klien dapat mengetahui dengan
jelas apa yang diharapkan darinya. Kontrak juga bersifat fisibel,
artinya batasan-batasan yang dinyatakan dalam kontrak ada di dalam batas-batas
kemampuan klien untuk melaksanakannya. Nilai utama dari kontrak adalah konselor
dapat mengetahui apakah ia berhasli dengan melihat apakah klien mampu mencapai
tujuan yang telah disepakati dalam kontrak.
2. Batasan
Waktu (time limits)
Batasan
waktu berkenaan dengan berapa lama waktu yang diperlukan untuk melakukan proses
konseling. Time limits diberikan agar proses konseling dapat berjalan lebih
efisien dan menghindari interaksi yang berlebihan.
3. Batasan
Tindakan (action limits)
Konselor
tidak perlu membatasi ekspresi verbal klien, meskipun hal itu menyinggung
perasaan konselor. Yang boleh dilakukan dalam action limits adalah pembatasan
tindakan. Bagaimanapun, klien tidak boleh menyerang konselor secara fisik, atau
melakukan tindakan-tindakan yang tidak normative.
4. Batasan
Peran (role limits)
Struktur
peran tidak hanya membatasi tentang siapa diri konselor saat ini, tetapi juga
apa yang harus diperankan oleh konselor dank lien dalam proses yang akan
berlangsung. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi peran ganda yang dapat
mengganggu objectivitas proses konseling.
5. Batasan
Masalah (problem limits)
Dalam
hal ini konselor hendaknya menjelaskan dan menginformasikan masalah yang
dihadapi klien, serta membuat kesepakatan (batasan) mengenai masalah yang akan
dibahas dalam proses konseling
D. CONTOH
PENGGUNAAN
1. Batasan
Waktu (time limits)
Konselor : “lintang, 1 jam lagi ibu ada rapat
dengan kepala sekolah, jadi mungkin ibu hanya punya waktu maksimal 50 menit.
Berapa lama waktu yang kamu inginkan untuk melakukan proses konseling ini?”
Lintang : “kalau begitu, bisa kan bu kita
menghabiskan 50 menit?”
Konselor : “baiklah, kalau begitu, maka kita akan
melakukan proses konseling ini selama 50 menit ke depan”
2. Batasan
Tindakan (action limits)
Konselor : “proses konseling ini akan membahas dan
berusaha memecahkan masalah yang sedang kamu hadapi. Sehingga kamu boleh saja
mengungkapkan apapun yang kamu rasakan. Tetapi kamu tidak boleh melukai ibu
secara fisik, atau melampiaskan emosi dengan merusak barang-barang yang ada di
ruangan ini…”
3. Batasan
Peran (role limits)
Konselor : “dalam hal ini, ibu hanya membantu
memahami masalah yang kamu hadapi, bukan memberimu nasihat. Nanti, kita cari
bersama-sama jalan keluarnya, tetapi keputusan tetap berada di tangan kamu. Ibu
tidak berhak mengambilkan keputusan”
.
4. Batasan
Masalah (problem limits)
Konseli : “saya bingung untuk memilih jurusan dan
perguruan tinggi, bu. Sebenarnya ada beberapa alternative yang bisa saya ambil,
tapi saya takut pilihan saya tidak sesuai dengan kehendak orangtua. Sejauh ini,
orangtua sering memaksa saya untuk mengikuti semua kehendaknya. Sebenarnya saya
resah dengan hal ini, tapi saya tidak berani mengungkapkannya. Jadi sekarang
saya benar-benar bingung untuk menentukan pilihan jurusan. Sementara orangtua
saya akhir-akhir ini jarang sekali di rumah, jadi saya belum bisa membicarakan
masalah ini. Sebenarnya saya juga merasa kurang diperhatikan karena mereka
terlalu sibuk dengan pekerjaanya. Saya tidak tau lagi harus bagaimana membicarakan
hal ini pada mereka”
Konselor : “dari apa yang anda ceritakan, saya
menangkap ada 3 masalah yang anda hadapi, yaitu masalah bingung memilih jurusan
dan perguruan tinggi, masalah orang tua yang sering memaksakan kehendak, dan
merasa kurang diperhatikan karena mereka terlalu sibuk dengan pekerjaanya. Nah dari ketiga masalah tersebut, manakah
masalah yang menurut anda perlu ditangani terlebih dahulu?”
DAFTAR
PUSTAKA
Hariastuti, Retno Tri, Eko Darminto. 2007. Ketrampilan-Ketrampilan Dasar dalam
Konseling. Surabaya: Unesa Press.
Supriyo, Mulawarman.
2006. Ketrampilan Dasar Konseling.
Semarang: BK FIP UNNES.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar